Ada sebuah video yang menceritakan seorang santri yang belajar di negeri Yaman, ketika itu ia ditemukan sedang membaca Al Qur’an di sisi kubur seorang wali. Setiap hari aktivitasnya seperti itu. Ketika ditanyakan mengapa ia melakukannya di kubur, bukankah di masjid lebih afdhol. Ia malah menjawab, di kubur akan lebih mendatangkan kekhusyu’an dan keberkahan. Padahal yang ia lakukan keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pada kita untuk tidak menjadikan kubur sebagai ‘ied, serta rumah jangan dijadikan seperti kubur karena di kuburan tidak diperuntukkan baca Qur’an di sana.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِى عِيدًا وَصَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِى حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied, sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada.” (HR. Abu Daud no. 2042 dan Ahmad 2: 367. Hadits ini shahih dilihat dari berbagai jalan penguat, sebagaimana komentar Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth dalam catatan kaki Kitab Tauhid, hal. 89-90).
Dari ‘Ali bin Al Husain (Zainal ‘Abidin)[1] radhiyallahu ‘anhu, ia pernah melihat seseorang mendatangi lobang yang ada di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia lantas berdo’a di situ, Zainal ‘Abidin lantas melarangnya. Lalu ia berkata, “Maukah engkau kuberitahu hadits yang kudengar dari ayahku (Husain), dari kakekku (‘Ali bin Abi Tholib), dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لا تتخذوا قبري عيدا ، ولا بيوتكم قبورا ، وصلوا علي فإن تسليمكم يبلغني حيث كنتم
“Janganlah menjadikan kubur sebagai ‘ied, janganlah menjadikan rumah seperti kuburan, dan bershalawatlah kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada.” (HR. Dhiya’ Ad Diin Al Maqdisi dalam Al Mukhtaroh, Ahmad dalam musnadnya 2: 367, Abu Daud no. 2042. Hadits ini shahih dilihat dari penguat dan banyaknya jalur, sebagaimana komentar Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth dalam catatan kaki Kitab Tauhid, hal. 90)
Jangan Menjadikan Rumah Seperti Kuburan
Kata penulis ‘Aunul Ma’bud (6: 22), yaitu Abu Thoyyib, yang dimaksud dengan hadits di atas adalah janganlah tinggalkan shalat dan ibadah di rumah, seakan-akan kalian itu mayit yang tidak lagi mengerjakan ibadah tersebut. Jangan misalkan rumah kalian lepas dari ibadah seperti layaknya kubur. Jangan meninggalkan ibadah di rumah sebagaimana mayit.
Jangan Menguburkan Mayit di Rumah
Sebagian ulama mengartikan hadits ‘jangan kalian menjadikan rumah kalian seperti kubur’, maknanya adalah jangan memakamkan mayit di dalam rumah.
Bagaimana dengan kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah ia dikubur di rumah ‘Aisyah, istri tercinta beliau?
Perlu diketahui bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di makam di rumah ‘Aisyah karena khawatir jika kubur beliau dijadikan seperti masjid (dijadikan ibadah-ibadah di sana). Demikian disebutkan oleh Al Qodhi. Sedangkan disebutkan oleh Al Munawi dalam Fathul Qodir dan juga Al Khofajiy bahwa para nabi semuanya dimakamkan di tempat ia diwafatkan, demikian sunnah para nabi. Jadi ini khusus untuk para nabi. Demikian yang dinukilkan oleh Penulis ‘Aunul Ma’bud (6: 22).
Sedangkan sekarang perluasan Masjid Nabawi telah sampai rumah ‘Aisyah, mengenai masalah ini telah diterangkan dalam artikel “Shalat di Masjid yang Ada Kubur”.
Menjadikan Kubur Sebagai ‘Ied
Dalam ‘Aunul Ma’bud (6: 23) disebutkan, “Yang dimaksud ‘ied adalah perkumpulan di suatu tempat yang terus berulang baik tahunan, mingguan, bulanan, atau semisal itu.”
Ibnul Qayyim dalam Ighotsatul Lahfan (1: 190) mengatakan, “Yang dimaksud ‘ied adalah waktu atau tempat yang berulang datangnya. Jika ‘ied bermakna tempat, maksudnya adalah tempat yang terus menerus orang berkumpul di situ untuk melakukan ibadah dan selainnya. Sebagaimana Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, Arafah, masya’ir dijadikan oleh Allah sebagai ‘ied bagi orang-orang beriman. Sebagaimana hari dijadikan orang-orang berkumpul di sini disebut sebagai ‘ied (yaitu Idul Adha). Orang-orang musyrik juga memiliki ‘ied dari sisi waktu dan tempat. Ketika Allah mendatangkan Islam, perayaan yang ada diganti dengan Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr). Sedangkan untuk tempat sebagai ‘ied, digantikan dengan Ka’bah, Mina, Muzdalifah dan Masya’ir.”
Sebagaimana dinukil dari ‘Aunul Ma’bud (6: 23), Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, makna hadits “jangan menjadikan kubur sebagai ‘ied” adalah janganlah meniadakan shalat, do’a dan baca Qur’an di rumah yang akhirnya menjadikan rumah seperti kubur. Hadits ini memerintahkan kita untuk membiasakan ibadah di rumah dan bukan malah dirutinkan di kubur. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Nashrani dan orang musyrik yang setipe dengan mereka.
Hadits ini dapat dipahami bahwa tidak boleh menjadikan kubur Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai ‘ied, di antara maknanya adalah tidak boleh meyakini bahwa sebaik-baik tempat untuk berkumpul adalah di sisi kubur beliau, atau sebaik-baik tempat untuk beribadah seperti do’a atau baca do’a di kubur beliau. Begitu pula tidak boleh meyakini adanya waktu tertentu yang lebih utama untuk ziarah kubur seperti saat Maulid Nabi menurut keyakinan sebagian orang. Jika kubur nabi saja tidak boleh dijadikan sebagai ‘ied semacam ini, maka lebih-lebih lagi kubur lainnya seperti di kubur wali, kyai, “Gus …” atau habib. Sebagian orang menganjurkan untuk melaksanakan haul di kubur-kubur wali atau orang sholih untuk mengenang wafatnya mereka, ini sungguh suatu yang tidak berdasar. Jika kubur nabi saja tidak boleh dijadikan haul, apalagi kubur lainnya.
Ibadah di Masjid Lebih Afdhol daripada di Kubur
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Para ulama kaum muslimin sepakat bahwa mendirikan shalat lima waktu di masjid adalah sebaik-baiknya ibadah dan sebaik-baiknya taqorrub (pendekatan diri pada Allah). Jika ada yang meninggalkan shalat jama’ah dan memilih shalat seorang diri, atau menjadikan do’a serta shalawat lebih afhdol di kubur-kubur wali (masyahid) daripada di masjid, maka ia berarti melepas ikatan agamanya dan mengikuti jalan selain orang beriman.” (Majmu’ Al Fatawa, 23: 225).
Di tempat lainnya, Syaikhul Islam mengatakan, “Oleh karenanya, para salaf memperbanyak shalawat dan salam di setiap tempat, setiap waktu, tidak mesti mereka kumpul-kumpul di kubur Nabi, tidak dengan baca Qur’an di sisi kubur Nabi, tidak pula dengan menyalakan lampu, menyajikan makanan dan minuman, begitu melantunkan sya’ir, atau semacam itu. Ini semua termasuk bid’ah. Mereka melakukannya di masjid Nabi, padahal ini juga dianjurkan di masjid lainnya dengan melakukan shalat, baca Qur’an, dzikir, do’a, i’tikaf, belakar dan mengajarkan Al Qur’an dan semisal itu.” (Majmu’ Al Fatawa, 26: 156)
Jika yang dimaksud do’a saat ziarah, itu memang dianjurkan. Namun jika maksud do’a meminta kepada mayit, ini jelas syirik. Begitu pula menjadikan mayit sebagai perantara dalam do’a dengan maksud menyajikan ibadah lainnya pada mayit, ini juga termasuk syirik. Sedangkan menjadikan mayit sebagai perantara dalam do’a karena menganggap do’a lebih afdhol di kuburan, ini jelas termasuk amalan mengada-ngada (alias: bid’ah) dan termasuk perantara menuju syirik. Lihat bahasan Rumaysho.com: Menjadikan Selain Allah Sebagai Perantara dalam Do’a.
Mengenai baca Qur’an di sisi kubur, itu termasuk amalan yang tidak ada tuntunan. Yang jelas membaca Al Qur’an di masjid (rumah Allah) lebih afdhol daripada di kuburan. Lihat keterangan Rumaysho.com: Membaca Al Qur’an di Sisi Kubur.
Semoga Allah menyelematkan kita dari kesyirikan dan segala hal yang mengantarkan pada kesyirikan. Hanya Allah tempat kita mengadu dan meminta pertolongan. Wallahul muwaffiq.
Lihat video: Dialog Syaikh Muhammad Al ‘Arifi dengan santri Indonesia di Yaman.
@ Maktabah Al Amir Salman, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 10 Shafar 1434 H
[1] ‘Ali bin Al Husain lebih dikenal dengan Zainal ‘Abidin. Beliau termasuk tabi’in terbaik dan ulamanya tabi’in. Beliau meninggal tahun 93 H.